rabol.id – Medan: Para penyelenggara pemilu belum memenuhi amanat UU No. 7/2017, karena tidak mengakomodir keterwakilan perempuan. Hal itu mencuat pada diskusi terpumpun keterwakilan perempuan 30 persen dalam penerapan pasal 10 ayat 7 UU No. 7 tahun 2017, masihkah relevan untuk penyelenggaran Pemilu 2024, di Stadion Cafe Jalan Stadion Teladan Medan, Jumat (20/10/2023).
Diskusi dihadiri puluhan peserta terdiri dari aktivis perempuan, LSM, penyelenggara pemilu dari berbagai daerah, mahasiswa dan jurnalis.
Tiga nara sumber masing-masing Praktisi Hukum Irfan Fadila Mawi, Aktivis Perempuan dan Penggiat Pemilu Ester Ritonga dan Ketua Pro Kontra Demokrasi selaku penyelenggara diskusi, David Susanto dihujani beragam pertanyaan sehingga diskusi berlangsung hangat.
David Susanto SE, M.Sp mengatakan, kegiatan diskusi ini untuk mendukung pemerintah agar pelaksanaan Pemilu 2024 berjalan aman, sukses dan kondusif. “Kita berharap melalui forum diskusi ini Pemilu bisa berlangsung sukses dan kondisi Kamtibtas terjaga di Sumatera Utara,” ujarnya.
Untuk itu, keterwakilan perempuan dalam penyelenggaran pemilu 2024 di Sumut menjadi penting untuk dicermati. Pasalnya, keterwakilan perempuan akan memberi warna lain dalam pengambilan keputusan penyelenggara Pemilu 2024.
Menurut David, baik komisioner KPU maupun Bawaslu yang baru dilantik beberapa bulan lalu sama sekali tidak memiliki perwakilan kaum perempuan. KPU Sumut yang dilantik oleh Ketua KPU Pusat Hasyim Asyari pada 24 September 2024 lalu masing-masing Agus Arifin (Ketua), Raja Ahab Damanik, Robby Effendi, Fredianus Zebua, El Suhaimi, Sitori Mendrofa dan Kotaris Banurea.
Sedangkan Bawaslu Sumut dilantik Ketua Bawaslu Pusat Rahmat Bagja pada 17 Juli 2023 lalu sebanyak tujuh orang masing-masing M Aswin Daipari Lubis (Ketua), Johan Alamsyah, Joko Arie Budiono, Payung Harahap, Romson Poskoro Purba, Saut Boangmanalu dan Suhandi Situmorang.
“Keputusan ini menimbulkan berbagai permasalahan karena telah melanggar UU No. 7 Tahun 2017 pasal 10 ayat 7 yang mengharuskan keterwakilan perempuan sebanyak 30 persen. Hal ini akan berdampak pada pembentukan penyelenggara Pemilu di bawahnya,” ujar David.
Dampak pengabaian 30 persen keterwakilan perempuan dalam lembaga penyelenggara pemilu ini, lanjut David, akan mengurangi keragaman pandangan dalam pengambilan keputusan. “Termasuk isu-isu kurang pemahaman
terhadap isu-isu yang relevan bagi perempuan dan berpotensi ketidak legimatasi hasil pemilihan dan dapat menimbulkan pelanggaran aturan lainnya,” ujar pria yang pernah memegang sejumlah jabatan seperti Ketua Panwaslu Sumut 2008 (sebelum berubah menjadi Bawaslu), Ketua Panwaslu Sumut (2012-2013) (sebelum berubah menjadi Bawaslu), Koordinator Perludem untuk wilayah Sumut (2013-2014), Koordinator Partnership (Kemitraan) untuk Pemilu di Sumut (2014), LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) untuk hitung cepat Pemilu Presiden (2014) Koordinator UNDP (United Nations Development Program) riset dan
survey untuk kemajuan ekonomi wilayah Sumatera Utara (2015).
Untuk itu, David berharap, kondisi ini harus cepat diantisipasi secara dini dari institusi pemerintah atau lembaga yang konsern terhadap keterwakilan perempuan agar tidak jadi ancaman keseteraan gender dimasa depan. “Semoga penngiat demokrasi fokus untuk mengkritisi ini dan tidak terulang lagi di masa depan. Apalagi ini Sumatera Utara yang dikenal sangat heterogen,” harap David.
Dalam uraiannya, Irfan Fadila Mawi mengatakan, keterlibatan perempuan dalam politik wajib hukumnya. Menurutnya, ada banyak landasan hukum yang mengatur tentang keterlibatan perempuan dalam lembaga penyelenggara Pemilu, seperti UUD 45 dan UU No. 7/2017 tentang Pemilu.
Namun kenyataannya perempuan selalu gagal dalam memperjuangkan kesetaraan haknya di dunia politik. “Masih ada ketimpangan pada jabatan di pemerintahan, legislatif/partai politik dan penyelenggara Pemilu,” ujarnya.
Eksistensi perempuan dalam politik, ujarnya, masih seperti cerita klasik yang menempati ruang pinggir atau pemain figuran dalam diskursus kontemporer.
Sementara Ester Ritonga memandang persoalan ini dari sisi kesetaraan gender yang terpinggirkan. Menurutnya, kedudukan wanita di Indonesia warna warni dan diskriminasi terhadap wanita juga berbeda-beda di setiap daerah.
Hal itu muncul dari konstruksi sosial yang dibangun sejak zaman dahulu, sehingga menjadi pandangan umum yang berkembang di tengah-tengah masyarakat.
“Masyarakat kita selalu memandang sesuatu secara patriarki dan keberadaan perempuan selalu diposisikan dari sudut pandang pria. Artinya sistem sosial kita menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral maupun hak sosial,” ujarnya.
Hal itu sangat terlihat di era tahun 1980 ke bawah dan wanita diposisikan dalam program pembangunan atau Women In Developmen (WIP). Namun perlahan hal itu berubah. Tahun 90-an ke atas kondisinya mulai berubah dan posisi perempuan sudah menjadi Women And Developmen (WAD).
“Perubahan itu karena perjuangan yang dilakukan para aktivitas perempuan yang terus bergerak dan tak pernah bosan untuk memperjuangkan kesetaraan gender. Kini kita bisa melihat mayoritas di setiap sekolah, rangking 1-10 murid terpintar didominasi oleh wanita. Kalau dulu sangat jarang ada wanita yang jadi kepala sekolah, sekarang sudah sangat banyak,” ujar Ester yang sudah malang melintang sebagai pejuang kesetaraan gender di Sumatera Utara.
Teranyar Ester menceritakan perjuangannya untuk menempatkan perempuan di penyelenggara Pemilu, baik Bawaslu maupun KPU Sumut. “Kita sudah mengawal keterwakilan perempuan dari proses awal hingga akhirnya harus kandas saat fit and propper test. Padahal nama yang masuk hingga proses fit and propper test merupakan orang yang sudah berpengalaman dan menurut kami sangat kompeten. Akhirnya Bawaslu maupun KPU Pusat mengkandaskan perjuangan itu.
“Jika alasannya perempuan tidak memiliki kemampuan untuk menjadi penyelenggara pemilu di Sumut, ini tentu sangat menyayat perasaan kami sebagai para perempuan di Sumut. Itu bentuk pemarjinalan perempuan Sumut dan melanggar UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemiluhan Umum. Di luar itu tentu merupakan bentuk pelanggaran HAM,” tegasnya.
Keputusan tersebut akhirnya mereka gugat ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan hingga saat ini masih dalam proses. (dave)
Your point of view caught my eye and was very interesting. Thanks. I have a question for you.